Jumat, 21 November 2008

Kisah sang ayah dalam 24 Jam

Dalam 24 jam ini, dua orang sahabat menceritakan kisah tentang suami dan diri mereka dimana saya mengalami pelajaran hidup kisah seorang ayah dari kedua sahabatku ini.

Dikisah pertama, seorang sahabat yang mendapat tugas dari kampus untuk presentasi keluar kota, mengisahkan kisah duka nya terhadap kekecewaan pada suaminya yang tidak perduli pada keselamatan anak perempuan semata wayangnya. Anaknya yang kelas 3 SMA harus melakukan belajar tambahan dengan mengikuti bimbingan test dan pulang pada pukul 8 malam. Lokasi bimbingan terletak jauh dari rumah, yang harus ditempuh dengan 2 x berganti angkot, namun melewati jalan riau dan bangka yang gelap serta melewati terminal bus yang banyak preman. Mengingat kondisi Bogor yang banyak mengalami penculikan anak serta kasus mutilasi dan perkosaan yang sanga merebak akhir2 ini sang sahabat hanya bisa sesak nafas dan menahan isak selama perjalanan pulang di jalan tol, karena pada sore hari nya ketika ia dalam kondisi diatas panggung sudah menitipkan anaknya untuk dijemput sang suami. Suami membalas sms dengan mengatakan bahwa dia ada meeting. Namun ketika pk 8 malam, sang putri sibuk mengontak sahabatku ini dalam nada kecemasan. Dan apa nyana, ketika sang suami di telpon, dia malah sedang asyik menghabiskan malam dengan teman2 ngerumpinya di sebuah hotel di Jakarta, yang notabene malam itu hadir tanpa didampingi suami2 mereka. Saya hanya bisa menyabarkan sahabatku ini, agar berdoa pada Allah agar sang putri diselamatkan oleh Allah dan menasehatinya untuk bersabar memiliki suami yang kurang mementingkan dan kurang perhatian pada keluarganya.

Belum genap 24 jam kejadian tadi malam yang terbawa mimpi itu, sore ini aku kembali mendapat telpon dari sahabat lainnya yang bekerja di BRR. Lama tak bersapa, pembicaraan tiba pada pembahasan tentang anak, mengingat aku juga punya seorang anak yang sedang duduk di kelas 3. Dengan bangga sahabatku ini bercerita anaknya masuk FKG UI. Dengan ringan saya menanyakan pada dia “peran apa yang telah kau lakukan sebagai seorang ayah, sehingga anakmu bisa berhasil masuk universitas yang sangat bergengsi itu?” Dan pertanyaan itu memancing cerita, yang kembali membuat aku termenung, betapa hebatnya sahabatku telah berhasil menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Ia bercerita, bahwa anaknnya telah mengalami kegagalan untuk mengikuti test UMB di Unpad dan di UI. Ia berangkat umroh untuk minta petunjuk Allah, seketika pulang dari Umroh, ia resign dari BRR yang telah memberinya gaji puluhan juta rupiah, dan ia mendampingi, mengantar dan menjemput anak gadisnya untuk pergi bimbingan test di Jakarta, (mengingat ia menyadari bahwa putrinya sangat membutuhkan dukungan moril dirinya juga), selain dukungan moril istrinya yang juga wanita bekerja. Saya tidak dapat membayangkan, ia yang berkantor di Dermaga, harus mengejar jam2 bubar bimbingan test anaknya di Jakarta, dan melakukan dialog intensif dengan putrinya untuk memberi motivasi agar anaknya berhasil. Dalam waktu se bulan, dia membuktikan pada dunia, bahwa ia adalah seorang ayah yang patut menjadi panutan dan teladan dan anaknya berhasil masuk UI melalui jalur UMPTN.

Terima kasih Tuhan, dalam 24 jam ini engkau memberikan pelajaran padaku tentang dua laki-laki yang berada pada titik ekstrim kanan dan kiri. Mudah2 an kisah pembelajaran ini dapat menjadi inspirasi bagi diriku untuk mendidik ke tiga anak laki-lakiku menjadi ayah di kisah terakhir, bukan dikisah pertama……………..amien

Selasa, 21 Oktober 2008

LASKAR PELANGI

Saat ini, film laskar pelangi sedang menjadi topic hangat dikalangan remaja maupun hampir seluruh lapisan umur masyarakat Indonesia. Bahkan ibu saya yang hampir berusia 75 tahun, yang di “sandera” kesembilan cucu nya agar “mau” ikut nonton untuk sejenak melepas lelah dan penat seusai lebaran, juga tak habis-habisnya mengagumi dan menyarankan agar saya dan suami menyediakan waktu untuk menonton film tersebut.

Kadang terasa sangat hiperbol penuturan si mami yang menyatakan, selama 75 tahun, belum pernah ia menonton film sebagus itu…. Kami hanya tersenyum simpul dan dengan santainya suamiku berkomentar : mungkin habis papi meninggal 28 tahun yang lalu, mami baru onton kali ya? Sehingga suasana bioskop yang sangat nyaman saat ini mendukung substansi film? Kami hanya terbahak2 sekeluarga melihat semangat mamiku tentang menonton ini….

Namun demikian, kami yakin apa yang diutarakan mami pada umumnya mengandung kebenaran yang tinggi. Akhirnya kita menyempatkan diri untuk menonton film ini. Dan ternyata benar film ini sarat dengan pesan moralitas yang sangat baik, yang dikemas dengan muatan local, yang ternyata sangat di dominasi oleh natural landscape yang sangat baik….saya jadi teringat masa2 sulit di SMP dan SMA, dimana nasehat2 yang diutarakan pa Cik seringkali saya dengar dari mulut ibundaku tecinta ini.

Saya semakin yakin, dengan istilah di Minang yang menyatakan bahwa “mulut ibu itu Batuah”, artinya apa yang terucap dari bibirnya merupakan doa dan banyak mengandung hikmah…

Subhanallah, hikmah lain yang saya dapatkan dari film ini adalah ketika mendapat berkah lain dari film ini yakni kesempatan saya untuk menikmati “the Beautifulness of Belitung Natural Landscape”. Saya sangat mengangumi pantai berbatu yang menjadi tempat bersejarah bagi lintang dan teman2, dimana mereka mendapat julukan Laskar Pelangi oleh sang guru yang sangat mulia dan tulus. Batu2 besar yang tertata secara alamiah dan bertabuiran di pasir pantai yang begitu indah, menggambarkan betapa indahnya natural landscape yang dapat dikembangkan potensi tersebut sebagai salah satu “Objek Daerah Tujuan wisata (ODTW)” berbasis Ekowisata.

Sehingga berbagai duka yang di sisakan oleh PN Timah, mudah2 an dapat terobati oleh upaya peningkatan income generating melalui aspek pengembangan ekowisata dengan pendekatan perencanaan lanskap yang baik tentunya. Mengingat potensi alamiah yang sangat baik tersebut, diharapkan Pemda Belitung dapat segera bangkit dan “Pantang menyerah’ sebagaimana kalimat yang tertera dalam postcard dari Paris pada akhir film ini……

Hidup ini memang perjuangan, maka tentunya tidak ada kamus putus asa, karena kita punya semangat ‘pantang menyerah”…..demikian nasehat dari mamiku yang juga terngiang2 dalam telingaku ketika aku menikmati lagu laskar pelangi pada saat bioskop mulai terang dan air mata di pipiku mulai mongering di malam nan gelap gulita itu…..

Senin, 22 September 2008

STREET SCAPE & PEDESTRIAN

PEDESTRIAN

Dalam suatu kuliah, saya sering mengisahkan ilustrasi mengenai pejalan kaki di sekitar jembatan merah. Mahasiswaku seringkali tergelak pada akhir cerita, yang seringkali masih terngiang gelak tawa mereka dalam lamunanku dalam bus IPB yang sering membawaku pulang ke Bogor dalam keletihanku.....karena kisah yang dianggap lucu tersebut sesungguhnya menunjukkan potret keprihatinan yan sangat mendalam terhadap kondisi streetscape dan pedestrian di negri kita tercinta.

Bayangkan, saya kembali teringat kalimat-kalimat kritis konstruktif yang sering dilontarkan anak-anakku ketika melihat ketidak nyamanan, atau ketidak harmonisan dalam penataan urban landscape, khususnya pedestrian di Jabotabek. Mereka sering bertanya “mahasiswa bunda yang lulus dari landscape pada ngapain aja sih bun? Koq kota-kota di Indonesia masih amburadul?”....

Pertanyaan itu wajar muncul, ketika misalnya suatu hari anakkuku, yang saya ajak beli kue di toko kue langganan kami di jembatan merah. Dari lokasi parkir mobil menuju toko kue, maka kita akan mengalami keadaan yang sering saya kisahkan dalam kuliah saya tersebut diatas, yakni: “Konsep pedestrian yang maju kena mundur kena”, mengapa demikian? Yah karena dalam perjalanan yang hanya beberapa meter tersebut, kita akan sangat merasakan ketidak nyamanan, karena jika kita terlalu kekiri, maka, kita akan kesenggol mamang-mamang jualan jeruk dan lengkeng. Jika kita berjalan agak kekanan, maka kita akan kesenggol becak, bahkan keserempet angkot.

Kisah nyata sering saya bumbui dengan ilustrasi, “lalu kalau kita jalan pelan-pelan, kita akan di maki2 orang, disuruh cepat2 oleh orang yang sedang memikul dagangannya, sementara kalau kita jalan kecepetan maka kita disangka ketakutan dan akan menjadi incaran copet yang senantiasa mengintai”

Walhasil, lengkap sudah penderitaan pejalan kaki di kota Bogor tercinta, sudahlah tidak nyaman dalam melakukan jalan kaki, maka pejalan kaki pun tidak memiliki “secure” atau rasa aman dalam melangkahkan kakinya tersebut.

Kondisi diatas sangat berbeda dengan beberapa pedestrian yang sempat saya amati. Kota-kota yang sehat, akan memiliki kawasan pedestrian yang sangat tertata dengan baik dan indah. Kesadaran akan pentingnya jalan kaki bagi kesehatan, sangat ditunjang dengan kanopi pohon yang sangat masif yang memisahkan jalan bagi kendaraan dan bagi pejalan kaki. Sehingga pohon-pohon tersebut terdapat dalam beberapa lapis dalam streetscapenya. Lapisan pertama yakni deretan pohon yang membatasi deretan rumah dengan pedestrian, dilanjutkan dengan lapisan kedua yang membatasi pedestrian dengan jalur mobil arah utara. Lapisan ketiga yakni median jalan, dilanjutkan dengan lapisan ke empat yang memisahkan jalur mobil arah selatan dengan pedestrian dan lapis terakhir, yang ke lima yakni deretan pohon yang memisahkan pedestrian dengan deretan perumahan.

Lima lapis pohon tersebut, tentunya tidak memberikan kesempatan bagi polusi yang dikeluarkan kendaraan untuk terbang bebas ria menuju jalur pernafasan penduduk kota itu, karena telah tereduksi dengan optimal oleh konsep streetsacape yang sangat baik. Dalam titianku menikmati pedestrian Oldenburg, seringkali pikiranku melayang, kapankah gerangan saya akan menikmati suasana yang begini nyaman di negriku tercinta?

KOEN

Koen, merupakan istilah yang biasa digunakan oleh anak-anak usia SD di Jepang untuk menyebutkan kata lain dari Pocket Garden, atau Taman lingkungan. Namun pengucapan “Koen” memberikan imajinasi tersendiri bagiku. Karena ketika aku melalui masa SD di SRIT, maka ketika kudengar ibuku mengajak ke Koen, maka kami akan sangat bahagia, karena berarti kami bisa bermain bebas di luar rumah, di taman dekat rumah, sambil mami membawa adikku yang masih bayi berjemur di hangatnya matahari pagi. Kami yang hanya boleh pergi keluar rumah dengan supir papi (krn mungkin papi dan mami sangat khawatir dengan keselamatan kami), kadang merasa sangat “lepas” dan “ bebas” jika sedang bereksplorasi di Koen.

“Koen” ini pula yang menjadi sebuah media yang sangat membantu aku dalam memberikan kebahagiaan yang sama bagi anak-anakku, yang lebih banyak menghabiskan waktu di Koen, dibandingkan waktunya bersama aku ketika kami memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Tokyo. Ketiga anakku, akan sangat sibuk bermain dengan teman nya masing-masing di 3 Koen yang berada disekitar tempat tinggal kami. Hari Minggu, ketika aku memiliki waktu luang (karena kadang hari minggu pun saya harus ke kampus, dan suami bekerja), maka, dengan sepeda saya harus berkeliling di 3 koen tersebut untuk melihat kebahagiaan anak saya dari jauh, sambil harap2 cemas akan keselamatan mereka.

Perbedaan mendasar kebahagiaan yang dirasakan aku dan anakku adalah pada kehadiran seorang ibu. Jika ketika kecil, aku harus ke koen selalu bersama mami, maka anakku menikmati koen dengan teman sebaya tanpa kehadiran seorang ibu, karena budaya di Jepang memberikan kebebasan bagi anak2 bermain di Koen. Koen dianggap sebagai tempat yang sangat aman bagi anak untuk bereksplorasi dan menikmati dunia “bermainnya”.

Dalam pengembangan sebuah kota pada negara maju, maka kehadiran pocket garden atau taman lingkungan (seperti koen tersebut diatas), yang dapat memberikan tempat bagi warga sekitar untuk bersosialisasi dan berinteraksi, merupakan suatu hal yang primer dalam memenuhi kebutuhan fasilitas bagi publik. Pada taman lingkungan tersebut biasanya juga disediakan sarana bagi bermainnya anak-anak, sehingga mereka bisa menikmati dunia mainnya dengan aman dan tenteram.

Konsep Koen seperti yang saya alami di Tokyo, saya amati terdapat pula pada beberapa kota yang berhasil saya potret pada beberapa kali kunjungan saya dalam beberapa course atau kujungan internasional seminar. Di Taipei, Bonn, Oldenburg, Amsterdam, Berlin, Bremen, Osnabruck dan Hamburg, saya dapat mengamati kebahagiaan anak-anak yang terpancar ketika sedang bermain dengan alat-alat yang dapat membangkitkan kreativitas, serta menanamkan keberanian anak-anak dalam beradventure ria.....

Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Bilakah saatnya tiba bagi kita, para pakar landscape untuk dapat memperjuangan keberadaan taman lingkungan yang kita yakini juga sangat plays an important role dalam kesehatan jiwa anak cucu kita kelak? Apakah kita akan biarkan mereka menjadi generasi plays station dan X-Box?

SATO-san

SATO-san...

Hukum Karma, apakah ada dalam hidup ini? Sebagai seorang penganut agama Islam, maka jelas dalam fiqih tidak terdapat aturan yang menjelaskan tentang sebuah hukum karma sebagaimana yang dianut oleh saudara kita dari ummat Hindu.

Namun mamiku tercinta, yang senantiasa memberikan kehangatan dan doanya dalam setiap desah nafas dan detak jantungku, serta senantiasa memberiku semangat di kala langkahku menjuntai lunglai dengan beratnya persoalan hidup ini, selalu mengingatkan kami anak-anaknya agar banyak berbuat baik ke sesama serta banyak memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan dengan semat-mata untuk mencari ridho Allah semata. “Karena kebaikan kita saat ini, kelak akan berimbas kepada anak-anak kita secara tidak langsung” demikian nasehat bijak yang senantias mengalir dari bibirnya yang senantiasa tidak pernah lepas dari dzikrullah....

Pikiranku melayang pada kejadian di penghujung tahun 99, ketika anak-anakku tiba dari Bogor, seketika diriku gamang, sanggupkah aku yang sedang menempuh studi di negri orang, mengasuh ketiga anakku yang berusia SD kebawah? Saat itu suamiku belum menyusul ikut tinggal bersama kami, dan mamiku hanya mengantar dan dapat tinggal satu bulan karena keterbatasan visa.

Kegamangan diriku kuserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, yang aku tahu tidak akan menyia-nyiakan hambaNya yang menyerahkan seluruh langkah hidupnya di dalam genggaman Nya.... Dan beberapa hari kemudian, tetanggaku,seorang gadis Jepang yang telah berumur, keluar dari kamar yang senantiasa tertutup rapat, pada suatu pagi dimana si bungsu Abyan sedang berjalan menuruni tangga untuk berangkat menuju penitipan anak. Perkenalan tak terduga pun berlangsung sebagaimana pada umumnya ketika saya berkenalan dengan orang baru.

Namun, unforgetable, malam hari ketika saya pulang dari kampus dalam keadaan yang sangat letih dan rasanya tidak memiliki energi tersisa untuk membuat penganan makan malam anak2ku, aku dikejutkan dengan ungkapan gembira ketiga anak2ku yang menceritakan perut mereka yang sudah kenyang. Mereka dengan gembiranya menyebut nama –Sato- san, orang sebelah yang kenalan tadi pagi bun,,,celoteh si bungsu. Jadi bunda tidak usah masak lagi....dan akupun terlelap dalam pelukan anak2ku tercinta.

Singkat cerita, hingga aku menamatkan sekolahku 2 tahun kemudian, aku tak akan pernah dapat melupakan jasa Sato-san, yang telah menjadi ibu kedua bagi anak2 ku selama kami tinggal di Tokyo. Aku bisa dapat menyelesaikan studi tepat waktu, karena aku tidak lagi memiliki kekhawatiran tentang anak2 ku karena udon panas atau nasi cyanghai akan siap pada makan malam untuk para jantung hatiku, ketika beliau melihat aku belum tiba karena sedang bekerja keras di lab kampus.

Pada malam terakhir kami di Tokyo, aku tak dapat menahan isak untuk berpisah dengan Sato-san, yang saat ini sudah almarhumah. Tanpa sadar saya bertanya pada diri sendiri, “kenapa ya ada orang sebaik Sato san yang hadir dalam kehidupan kita?” suamiku yang berbaring disisiku, berbisik dengan lembut....”karena mami orang yang baik dan suka menolong orang, sekarang bunda menerima balasan kebaikan mami tersebut melalui Sato san”. Aku tertegun dengan ucapan suamiku yang sangat“dalam” yang menggambarkan realitas hidup, betapa pemurahnya ibundaku tercinta....dan aku menikmati kebaikan mami tersebut dengan banyak menerima pertolongan dari orang ketika aku sangat membutuhkannya dalam perjuangan hidup menempuh sekolah di negeri Sakura....

Sebaliknya, ketika ada kerabat yang harus mengalami hidup yang sangat berat dan mengalami perputaran hidup sebanyak 180 derajat, lagi2 aku bertanya kepada mamiku “kenapa ya mam, dia mengalami cobaan hidup yang sangat berat?” ibuku hanya menjawab lirih, “itu lah nak, kalau kalian mau anakmu selamat, banyak2 lah meringankan penderitaan orang lain, banyak2 lah memberi pertolongan dan kebahagiaan kepada orang yang membutuhkan, serta ringankan lah langkahmu untuk berbuat amal dan bersedekah” Kerabatmu itu menuai kekikiran sang bundanya, yang terkenal sangat enggan untuk meringankan penderitaan orang lain dan tertutup pintu rumah dan mata hatinya untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Lagi-lagi saya merenung, ternyata benar ungkapan hadist yang menyatakan, ada kalanya Allah akan menyegerakan balasan di dunia kepada hambaNya, baik dengan amalnya maupun dengan kekikiran hatinya dalam meringankan penderitaan orang lain. Seketika aku dan kakak2ku berlomba-lomba berbuat kebaikan, karena kami menyadari bahwa Allah menyayangi hamba Nya yang pemurah dan penolong.

Sehingga walau tidak ada konsep Karma dalam Islam, namun ilustrasi diatas semoga dapat membuka mata hati kita, bahwa kita sebagai orang tua harus senantiasa berbuat kebaikan karena Allah semata, agar insya allah kelak anak kita akan bisa menerima balasan kebaikan kita dari sato san....sato san ..... lain yang akan datang tanpa diduga sebagaimana peristiwa kami di Tokyo.....

SANTI

2 minggu sudah kulalui hari-hariku di negeri yang harus kutempuh selama lebih dari 20 jam, untuk menuntut ilmu bagaimana mengelola sebuah perguruan tinggi, dimana memiliki manajemen yang cukup khas dan berbeda dibandingkan dengan pengelolaan sebuah perusahaan swasta atau industri. Syukurku tak habis kulafadhkan ke Hadiratmu Illahi Rabbi, yang telah memberiku kesempatan ini. Karena pembelajaran yang aku dapatkan tidak hanya dari bangku2 kuliah dalam “University Leaders Course” di Univ Oldenburg ini, melainkan juga dari tadabur alam yang kudapatkan untuk lebih memperdalam pemahamanku mengenai arti sesungguhnya sebuah kawasan “Urban Landscape”, sebuah cabang ilmu landscape yang senantiasa kucoba untuk aku dalami dan pahami.

Pembelajaran tentang peran seorang istri dan ibu yang baik pun, aku dapatkan dalam perjalanan hidupku yang sesungguhnya sedang aku jalani sendiri selama sebulan ini, yang harus memisahkan aku dari dekapan suami dan anak-anakku tersayang. Kesempatan mengunjungi seorang sahabat lama di Amsterdam, memberikan perenungan panjang tanpa habis bagiku. Seorang sahabat yang sedang berada dalam puncak kejayaan karier suaminya sebagai direktur utama sebuah anak perusahaan BI, rela melalui hari-harinya untuk menikmati peran sbg istri dan ibu. Sebagai seorang sarjana yang saya kenal cukup smart, ia rela melalui hari-hari melakukan pekerjaan yang biasanya banyak aku limpahkan pada mbak Mar, seseorang yang sangat berjasa padaku dan keluargaku dalam lima tahun terakhir ini. Tanpa kehadiran mami yang senantiasa memberikan kasih sayang yang tak putus bagi anak2ku dan kehadiran seorang mbak Mar dalam hidupku, tak mungkin aku tega meninggalkan anak-anakku hanya dengan suamiku dan melalui hari-hariku di Oldenburg ini....

Dengan posisinya yang serba berkecukupan dan berkelebihan, ia mungkin dapat membawa berpuluh-puluh mbak Mar ke Amsterdam untuk membantu mengelola rumahnya yang berlantai 3 ini, bahkan berlantai 4 jika kita menghitung dari ruang cuci baju di bawah tanah. Ukuran rumah yang cukup langka bagi penduduk Amsterdam, karena biasanya penduduk terbiasa hidup dalam Apartemen, ternyata tidak menyurutkan niatnya untuk mengikuti jejak ibu-ibu Belanda yang menikmati peran memberikan kasih sayang pada suami dan anak-anak melalui belaian tangan lembutnya dalam mengelola rumah dan melayani suami & anak2nya.

Kisah kebahagiaan ibu-ibu Londo yang mempunyai budaya memberikan penganan istimewa pada setiap hari Minggu pada suami dan anak, (krn pd hari minggu seluruh toko, apartemen dan restaurant di Eropa tutup agar setiap keluarga punya waktu luang utk menikmati kebersamaannya), menjadi inspirasi terselubung bagi sahabatku ini. Kisah ini yang menjadi sumber semangat baginya untuk belajar membuat masakan dengan tangannya sendiri bagi suami dan anaknya selama di Amsterdam. Sbg seorang anak mantan pejabat di Indonesia, sangatlah wajar jika ia banyak melalui kehidupan yang serba berkecukupan dengan pembantu berderet. Dan sebagai anak metropolitan, pun suatu hal yang lumrah bagi kami, baru belajar membedakan bawang merah dan bawang putih setelah akad nikah.....

Apa rahasia dibalik semua ini?Adalah keikhlasan menjalankan peran dengan meyakini sepenuh hati bahwa setiap langkahnya dan gerakannya adalah ibadah, yang akan menjadi sumber energi yang sangat luar biasa bagi keberhasilan suami dan kedua putranya. Sahabatku telah membuktikan, bahwa keberhasilan suaminya mencapai puncak karier, tak terlepas dari kehadiran sahabatku ini dibelakang layar. Aku sangat yakin, keberhasilan suaminya tidak terlepas dari perannya sebagai “sparing partner” yang sangat handal bagi suami nya,sehingga selain pengabdiannya dalam urusan rumah tangga, ia pun bisa menjadi teman diskusi pada saat suami nya sdg menghadapi masalah berat dikantor, (karena mereka sama2 memiliki latar belakang sbg bankers).

Lagi2 aku merenungi langit kamarku, apa yang telah aku lakukan dan abdikan untuk suami dan anak-anakku?

Syukurku tak habis aku panjatkan kehadirat illahi yang telah memberi aku seorang suami dan anak-anak yang begitu ikhlas memberikan izin dan dorongan bagiku dalam menempuh jenjang demi jenjang berbagai pendidikan yang telah aku tempuh.... Namun, aku senantiasa menyadari dengan sepenuh hati, surgaku sesungguhnya tidak terletak pada berbagai gelar yang telah kuraih dan berbagai jabatan yang sedang aku emban saat ini, melainkan pada ridho suami dan kebahagiaan anak-anakku.

Aku merenung betapa sangat kurangnya energi yang aku miliki telah aku curahkan bagi keberhasilan suami dan anak-anakku sebagaimana yang telah dilakukan sahabatku ini. Keberhasilan suamiku dan prestasi anak-anakku sangat aku yakini semata-mata karena kasih sayang Allah semata dalam memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku hanya mengandalkan kekuatan komunikasi dan doa sebagai sarana menyalurkan energi penuh kasihku bagi suami dan anak-anakku, yang aku yakini sangat kurang dan jauh dari mencukupi sebagaimana yang telah dilakukan sahabatku ini. Aku hanya bisa mempersembahkan setiap lantunan tadarusku dan dzikirku bagi suami dan anak-anakku tersayang, selain kupersembahkan kepada almarhum papi tercinta, almarhum mamak dan bapak tekasih (kedua mertuaku) dan mami tercinta.

Aku senantiasa memohon ampun kepada illahi robbi, agar aku melakukan semua amanah ini bukan dilandasi oleh ambisi dunia yang hanya menjerumuskan aku ke neraka yang abadi kelak, tetapi karena menyadari bahwa aku diberi “amanah lebih” dari Allah swt. Aku senantiasa memohon kepada Allah agar aku senantiasa mendapat hidayah untuk senantiasa menyadari bahwa amanah yang utama dari sekian banyak amanah yang aku emban saat ini, adalah dalam memberikan pengabdian yang tulus dalam memberikan kasih sayangku yang seutuhnya bagi suami dan anak-anakku.

Terima kasih Santi, kebersamaan kita selama 2 hari, telah memberikan pembelajaran yang sangat berarti bagiku...agar aku senantiasa menyadari tugas utamaku....tapi percayalah setiap hasil keringat yang aku terima, juga aku niatkan untuk meringankan beban suamiku dalam menyiapkan bekal studi anak-anakku yang sudah di depan mata, karena satu demi satu anak-anakku akan memasuki bangku kuliah yang sangat mahal biayanya di negri kita tercinta ini.....

Sepulangku kelak, semoga aku lebih bisa menyalurkan energiku kepada suami dan anak2 ku sebagaimana yang telah kamu persembahkan untuk chairy dan kedua jagoanmu......

Terima kasih ya Allah untuk tadabur alam menjadi istri dan ibu yang sejati.....

Kamis, 11 September 2008

September, 11th, 2008

Hari ini 11 September, seluruh media TV menayangkan kembali mengenai persitiwa WTC yang sempat menghentakkan dunia, persitiwa runtuhnya dua gedung kebanggan Amerika, yg dlm beberapa menit dan jam telah berubah rata menjadi tanah...

Lalu apa kaitannya dengan Urban Lanskap?
Pada sebuah kota yang tertata dengan baik, maka keberadaan “open space: menjadi hal yang sangat perlu untuk dipertimbangkan keberadaanya. Open space tersebut dapat memiliki multi fungsi, dan dapat dibagi menjadi “green open space” dan “non green open space”. Dan yang menjadi pengguna utama tentunya adalah penduduk setempat yang dapat menikmati ruang terbuka tersebut untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan baik.

Saya masih ingat ketika memulai kewajiban sebagai dosen muda, maka secara tidak tertulis terdapat aturan yang mengharuskan kami duduk pada setiap perkuliahan yang dilakukan oleh senior kami. Selain almarhum Zain Rachman yang senantiasa menyajikan kuliah dengan sangat atractive, saya selalu berusaha untuk duduk mendengarkan kuliah bu Is, begitu panggilan akrab kami terhadap Dr Siti Nurisjah, yang saya anggap sangat piawai dalam dunia ke-lanskap-an. Dalam salah satu kuliahnya beliau menjelaskan, bahwa berbagai karya lanskap yang kita hasilkan harus senantiasa berorientasi kepada “manusia” sebagai pengguna utama. Beliau lebih senang menggunakan istilah USER dalam menjelaskan tentang hal ini. Dengan demikian pentingnya untuk menyediakan open space (termasuk di dalamnya green open space) adalah agar USER dapat menikmati berbagai multifungsi dari kawasan yang harus masuk dalam perencanaan sebuah kota.

Dan apa hubungannya antara peristiwa WTC dan USER? User menikmati suatu kawasan open space dengan berbagai tujuan, baik untuk menikmati suasana happiness maupun mengenang suatu persitiwa duka. After 7 years, kita bisa melihat dalam tayangan TV German (yang tak saya pahami satu patah katapun), betapa para USER di Amerika mengenang kedukaannya pada sahabat kerabat bahkan keluarga tercinta yang berpulang akibat serangan pesawat pada gedung WTC, pada tapak ex gedung WTC yang telah berubah menjadi TAMAN WISATA KOTA.

Amazing, dalam tapak ex WTC, telah dibangun taman kota, yang lebih banyak memainkan hardscape dan memberikan kesan yang tidak mengerikan walaupun kisah yang terjadi telah mengoncangkan dunia karena begitu banyaknya korban nyawa dan korban biaya yang telah ditimbulkan. Namun pelajaran sangat berharga yang bisa kita ambil dari berita TV tadi adalah, bahwa seorang arsitek lanskap bisa banyak berbuat untuk menambah cantiknya sebuah kota, walaupun pernah ada kisah kelam dibalik taman yang cantik itu....

Apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahnakan taman dan open-space di negri kita tercinta? Wallahu alam......

Rabu, 03 September 2008

Kosmetik Pendidikan

Di hari pertama ketika saya memasuki kelas dimana course dilakukan, saya terkesima dengan penampilan manusia yang berseliweran di koridor ruang. Saya mencari-cari di dalam hati, mana dosen, mana mahasiswa dan mana cleaning service? Semua berpenampilan sama, yakni “jeans dan kaos oblong”. Pertanyaan saya terjawab ketika perkuliahan dimulai, baru saya dapat membedakan diantara ketiganya.

Hari demi hari kami lalui dengan perkuliahan yang sangat menarik dan pola mengajar yang sangat “hidup”. Lagi-lagi saya mengamati, seluruh dosen mengajar dengan celana jeans dan mengajar dengan gaya yang begitu santai, namun setiap kalimat yang dikeluarkan sangat berbobot dan berkualitas.

Subhanallah, lagi-lagi Engkau membuka mataku tentang “arti pendidikan” yang sesungguhnya..... Di kampus ini, hubungan antara dosen dan mahasiswa terjalin dengan begitu akrab dan bersahabat. Namun, satu sama lain sangat memahami posisi “standing” nya. Walau demikian, dalam diskusi dan dialog diantara keduanya, terlihat jelas peran dosen dalam memberikan arahan yang substansial kepada sang murid menuju pada penyempurnaan pemahaman secara scientific.

Imaginasiku lagi-lagi melayang pada suasana di kampus ku tercinta di Bogor, dimana untuk menunjukkan eksistensi jati diri dan power nya, seorang dosen dapat dengan mudahnya tidak meluluskan seorang murid, bukan karena konsep lanskap atau substansi skripsi yang tidak memenuhi kaedah ilmiah, tetapi karena hal-hal tekhnis yang sesungguhnya lebih kepada kurang lengkapnya penyajian gambar dalam draft skripsi, (padahal dalam power point telah disajikan gambar yang terlupakan tersebut) atau pada kurangnya penyempurnaan penampilan keindahan dan kerapihan sebuah skripsi . Apakah sikap seperti ini tidak menunjukkan sebuah sikap “kulit lebih penting dari pada isinya” Sehingga berbagai analisis mendalam yang telah dilakukan si anak dengan kerja keras dan susah payah, seakan menjadi tidak ada artinya dan sia-sia? “Proses” dalam melakukan riset menjadi suatu hal yang tidak bernilai untuk dihargai?

Sama halnya dengan aturan kampus yang melarang mahasiswa berpenampilan santai, lagi2 saya merenung, apakah “kulit dan penampilan jauh lebih penting dari isinya”? Dosen kita sibuk memberikan punishment kepada murid karena tertangkap menggunakan kaos oblong dan sendal jepit, tetapi sang dosen tidak pernah sempat untuk mengamati apakah ada unsur plagiat dalam skripsi sang murid karena sedang sibuk “mroyek”?

Akhirnya saya merenung lagi secara mendalam, saya menemukan “jawaban” kenapa negeri kita tercinta masih jauh terbelakang dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia atau Singapore. Mungkin bangsa ini terlalu banyak menghabiskan energi dan sibuk hanya untuk berfikir dan bergelut pada hal-hal yang kurang substansial. Sama halnya dengan kasus menimpa si anak malang diatas, yang tidak bisa menikmati kemerdekaannya sebagai seorang sarjana karena tersandung pada hal-hal yang tidak substansial.

Ilustrasi diatas dapat diibaratkan dengan seorang wanita yang lebih mementingkan kosmetik daripada kebersihan hati dan akhlaknya. Dengan kosmetik, sang dara dapat menutupi jerawatnya atau muka yang penuh noda hitam. Begitu pula dengan skripsi yang tersaji dengan sempurna tapa salah ketik satu hurufpun, seolah dapat menutupi kelemahan substansial sebuah karya ilmiah yang menunjukkan tidak adanya benang merah antara metodologi, analisis, pembahasan dan kesimpulan.

Berbeda dengan suasana pendidikan disini, dimana penampilan menjadi suatu hal yang tidak dipermasalahkan, melainkan substansi pemikiran yang scientific yang dibangun. Artinya Isi jauh lebih penting daripada kulitnya. Tentu akan lebih sempurna jika kedua hal tersebut sama2 sempurna, tapi apakah kita lupa, bahwa kesempurnaan yang sesungguhnya hanya milik Allah SWT semata?

Mari kita merenung, mana yang lebih harus kita perjuangkan dalam proses pendidikan:
Kosmetik atau Substansi pendidikan?
Semoga Allah memberi hidayah pada kita pada bulan suci ini untuk bisa menjawab pertanyaan sederhana diatas, agar kita lebih dapat membangun IPB kita tercinta !!!

URBAN LANDSCAPE

Sebagai murid lanskap angkatan pertama di IPB (angkatan 21 ‘84), saya bersyukur, masih mendapatkan arti “lanskap” yang sesunguhnya dari Alm Zain Rachman, Bapak lanskap Indonesia (karena tanpa beliau, maka ilmu lanskap tidak akan ada dibumi tercinta ini). Kalimat yang terngiang yang tak terlupakan hingga kini (karena beliau memiliki cara mengajar yang unique dan sangat menarik) adalah ketika beliau menyatakan bahwa kita dapat menilai baik tidaknya sebuah “lanskap” melalui dua aspek yakni aspek ekologis dan aspek estetika.

Kalimat itu yang kemudian melalui perenungan yang mendalam yang coba saya terjemahkan dalam merumuskan sebuah “urban landscape” yang baik, mengingat areal perkotaan pada umumnya dibangun dengan pesat untuk memenuhi kebutuhan peningkatan income generating wilayah setempat. Percepatan pertumbuhan ekonomi kadang mengindahkan “kaedah2 ekologis perkotaan”, sehingga kota yang seharusnya menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi penduduknya, berubah menjadi Hutan Beton yang diselimuti polusi kendaraan dan ketidak nyamanan penduduk dalam beraktivitas didalamnya. Dapat diambil contoh di Jakarta, dimana dilupakannya kaedah2 ekologis dalam membangun sebuah kota, mengakibatkan penduduk harus siap siaga menghadapi serangan banjir mendadak yang datang tanpa diundang. Jangankan kehidupan yang nyaman, bahkan ancaman maut pun seakan datang tanpa mengenal kata permisi kepada penduduk kota Jakarta.

Kemudian apa arti pembangunan kota yang menganut prinsip “kaedah2 estetika”? Apakah sekedar kota yang sudah menanam tanaman dan bunga2 di pusat kota ataukah kota yang tertata rapi, indah dan cantik, baik secara horizontal maupun vertikal? Jawaban ini saya temukan ketika beberapa hari yang lalu saya berkesempatan terbang sangat rendah dari Amsterdam menuju Bremen. Subhanallah, dari pesawat (yang sesungguhnya sudah sangat membosankan karena telah menempuh perjalanan selama 20 jam), saya melihat betapa penataan kota Amsterdam sangat rapi dan teratur dari atas pesawat. Selain penataan ruang yang sangat jelas zonasinya, bahkan penataan gedung pun (yang tidak dapat saya identifikasi apakah gedung apartemen atau gedung perkantoran) berjajar dengan sangat rapih, dengan orientasi ruang yang sangat jelas. Jalan-jalan yang menghubungkan antar ruang juga terbangun dengan pola ruang yang sangat jelas. Lenyap seketika keletihan yang saya rasakan dalam penantian di Airport Schipol Amsterdam, setelah saya melihat ternyata sebuah kota dapat ditata dengan begitu cantiknya, tidak hanya ketika kita berada di dalam kota itu, bahkan juga ketika kita melihat dari pandangan “atas” , kita bisa menikmati arti sebuah “estetika” kota, sebuah keywords yang senantiasa didengungkan almarhum Bpk Zain Rachman.

Ketika kami telah melewati wilayah Netherland, dan memasuki wilayah German (lagi2 saya teringat pada almarhum), saya mendapat ilustrasi yang sesungguhnya mengenai konsep urban lanskap yang tidak hanya ditata dengan kaedah “estetika” namun juga dibangun dengan memperhatikan kaedah “ekologis”. Sepanjang jalan yang menghubungkan antar ruang, saya mengamati jejeran pohon yang sangat masif, yang sangat saya yakini berfungsi utama untuk mereduksi polusi udara dan kebisingan yang berasala dari kendaraan bermotor. Pada tengah kota terlihat kumpulan pohon yang tertata sangat rapi, yang juga sangat saya yakini fungsi utamanya sebagai “paru-paru kota”, serta pada kawasan pinggir kota, dengan jelas saya dapat melihat green belt yang membatasi kawasan perkotaan dan pedesaan...

Subhanallah, setelah 20 tahun bergelut di dunia Lanskap, saya diberi kesempatan oleh Allah swt, untuk melihat dengan sesungguhnya ilustrasi realitas dari Urban Landscape yang baik dalam proses belajar yang tidak direncanakan. Terima kasih ya Allah, telah memberikan saya pembelajaran melalui proses taddabur alam, “Engkau maha pemberi”

Minggu, 17 Agustus 2008

MERDEKA !!!

Hari ini, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang arti sebuah kemerdekaan. Bagi sepupuku yang harus kehilangan ayahnya ketika ia masih bayi merah (karena hilang entah berantah ketika berjuang untuk sebuah "kemerdekaan"), maka hari ini merupakan hari yang menyedihkan, karena untuk sebuah "kemerdekaan", ia harus kehilangan dan tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah seumur hidupnya. Sementara itu, bagi ibu ku yang hampir berusia 75 tahun, hari ini merupakan hari penuh nostalgia, karena ketika "kemerdekaan" belum tercapai, ia dan kakak2 perempuannya harus di ungsikan ke tempat2 tersembunyi agar tidak menjadi korban pelampiasan nafsu buas tentara2 Jepang. Dan sekian ribu orang memiliki persepsi dan arti yang beragam akan arti sebuah "Kemerdekaan"

Sementara apa arti kemerdekaan bagi seorang diriku?
Kemerdekaan sebuah bangsa adalah kebebasan kita dari ketergantungan bangsa dan orang asing. Tidak hanya kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dalam mengisi kemerdekaan itu sendiri.

Sebagai pengajar, saya akan merasa merdeka, ketika untuk penelitian dan bahan pengajaran saya, saya bisa berdikari dan tidak tergantung pada uang riset hasil hibah dari negara lain. Saya akan merasa merdeka, ketika terjadi kolaborasi riset antara peneliti Indonesia dan peneliti asing, maka kita dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan peneliti asing. Kita bukan partner yang hanya menjadi guide atau "pengantar tamu" ketika peneliti asing itu sedang riset di negri kita tercinta, tetapi, kita juga menjadi partner dalam menentukan arah riset dan dapat memberikan masukan konstruktif dan menjadi "key person" pula. Banyak fakta yang menyebutkan, bahwa murid Indonesia yang sedang tugas belajar di Amerika, Eropa, dan Jepang, adalah murid2 unggulan yang dapat disejajarkan dengan mahasiswa lokal disana.

Perbedaannya adalah pada "starting Point" yang berbeda saja. Amunisi yang kita terima di bangku SD, SMP dan SMA, maupun S1 kita berbeda dengan apa yang diterima oleh mahasiswa Jepang atau Amerika. Saya yakin, ketika kita di tempatkan pada starting point yang sama, maka kita pun tidak akan merasa "kurang" dari mereka. Karena itu, pada hari kemerdekaan ini saya sangat bersyukur dengan "berhasilnya" perjuangan untuk meng-gol-kan anggaran pendidikan sebesar 20 % (yang disampaikan dalam pidato Presiden, 16-08-08). Artinya upaya kita untuk
merdeka yang sesungguhnya dapat kita raih sedikit demi sedikit.

Saya sangat bangga ketika seorang dosen muda lanskap IPB, memperoleh beasiswa Dirjen Dikti untuk berangkat studi S2 di German pada bulan September kelak. Kebanggaan saya ini melebihi kebanggan diri saya karena saya berangkat studi atas beasiswa Mombusho. Dalam persepsi saya, maka "dosen muda itu jauh lebih merdeka dari diri saya".....!!!

Mudah2 an dengan meningkatnya anggaran pendidikan, maka akan semakin banyak lagi anak2 yang dapat meraih pendidikan yang lebih baik. Karena sesungguhnya kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dari rakyatnya. Kita juga berharap dengan meningkatnya anggaran pendidikan ini, kita tidak akan lagi melihat lagi murid2 SD dipelosok desa yang harus belajar dalam atap berlobang atau bangku reyot, atau bahkan akan kita lihat dosen-dosen muda yang berangkat ke manca negara dengan beasiswa dr Mendiknas Indonesia!!

Untuk itu aku senantiasa bernasehat pada diriku dan anak2ku, agar kita dapat mengisi kemerdekaan ini dengan belajar yang tekun serta kerja keras, karena saya yakin nasib suatu bangsa tidak akan berubah, jika tidak ada usaha dari anak bangsa itu untuk belajar dengan tekun, kerja keras dengan penuh dedikasi, dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai integritas "kebenaran dan kejujuran".

"MERDEKA"

Jumat, 08 Agustus 2008

Apa itu Urban Landscape?

Di akhir bulan Maret 2002, dalam perjalanan dari Cengkareng ke rumah mami ku di Jakarta, sayup-sayup, saya yang hampir tertidur lelap di mobil dalam suasana kekeluargaan yang sangat hangat(suasana yang sangat kami rindukan!!!), kami mendengar dialog kedua anak laki-laki ku dalam bahasa Jepang mereka yang sangat fasih.... Si adik bertanya kepada sang kakak, "Kak, kenapa ya tanaman di sepanjang jalan tol ini warnanya hijau semua? padahal kalau di Tokyo kan, ketika musim semi tiba seperti cuaca saat ini, warna-warni bunga akan bermunculan dengan cantiknya kan?" (penghujung bulan Maret merupakan saat yang sangat dinantikan oleh penduduk Jepang, karena pada awal April di Tokyo bunga Sakura bermekaran dengan sangat indahnya hampir diseluruh pelosok kota Tokyo). Sang kakak menjawab dengan mantap nya "wah kalau tanaman berbunga kan perlu perawatan dan penanganan yang lebih dibandingkan dengan tanaman hijauan? Disamping itu harus disiram dengan teratur?" Adiknya menjawab kembali "Jadi berarti orang Indonesia "malas" ya? Sang kakak terkesima dengan pertanyaan adiknya "Kenapa kamu bilang orang Indonesia "malas" nggak juga koq !, lalu adiknya menjawab kembali, " lha iya dong kak, orang Indonesia pemalas, buktinya mereka cuma mau menanam tanaman hijau saja, sehingga mereka gak perlu capek-capek menyiram dan merawat tanaman", artinya orang-orang Indonesia gak mau repot kan? artinya orang Indonesia malas menyiram kan? Padahal kalau ada bunga-bunga diantara pohon-pohon hijau ini, Indonesia akan lebih Indah???.... Kami semua terkesima mendengar dialog kedua putra saya yang sibuk membahas tentang negriku tercinta, ketika belum genap satu hari mereka menginjakkan kaki di Jakarta, setelah ikut tinggal di Tokyo selama 2,5 tahun. Ternyata sense Urban landscape telah dimiliki secara alamiah oleh setiap insan manusia, walau ia belum pernah menginjakkan kakinya dibangku kuliah Arsitektur Landscape dan mendapatkan mata kuliah Urban Landscape, sebagaimana dialog kedua putra saya yang sudah dapat menilai betapa cantiknya jalan tol jika dihiasi pula dengan tanaman berbunga, tidak hanya pohon hijau....

Apa itu Urban Landscape? simak next posting yah......!!!