Rabu, 02 Mei 2012

HARDIKNAS 2012 : GENERASI EMAS INDONESIA


HARDIKNAS 2012
                  
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012 dilakukan serentak di seluruh sekolah dan universitas serta kantor pemerintahan se Indonsia, hari ini 2 Mei 2012. Logo yang dimunculkan oleh berwenang juga memiliki makna yang sangat mendalam bagi kemajuan bangsa ini.

“Bangkitnya generasi emas di Indonesia”, sebuah  rangkaian kalimat yang menjadi logo peringatan Hardiknas tahun ini harus di pahami oleh para pendidik seperti kami dengan rangkaian tanggung jawab yang sangat berat namun menjadi suatu “keharusan” bagi kami untuk berkiprah secara optimal dalm menciptakan kader bangsa generasi “emas” ini.

Generasi Emas, hanya bisa dihasilkan dari anak didik yang memiliki “karakter” dan “integritas” yang baik, dimana kejujuran ilmiah, dan  tanggung jawab menjadi modal utama yang harus dimiliki oleh anak negri ini. Generasi emas juga hanya bisa dihasilkan dari sekelompok anak muda yang bekerja keras tanpa pamrih, mengutamakan  kepentingan bangsa dan tanah air daripada kepentingan diri sendiri, serta rela berkorban bagi kemajuan bangsa dan negaranya.

Persoalan berikutnya adalah, apakah mereka bisa menjadi generasi emas dengan deretan indikator yang di tulis diatas, jika di didik oleh para guru dan dosen yang tidak memiliki karakter  yang sama? Tentu, suatu hal yang mustahil akan terlahir anak didik yang “berkarakter” jika di didik oleh guru dan dosen yang “tidak berkarakter”. 

Seketika seseorang memutuskan jalan hidupnya menjadi seorang pendidik, maka seketika itu pula ia memproklamasikan dirinya menjadi seorang individu yang tak pernah berhenti untuk “belajar”, terutama belajar menjadi pendidik yang “berkarakter”………. Saatnya bagi kita, para guru/dosen Indonesia utk kontemplasi “what we have done” ?
“SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL”, semoga kita dapat menjalankan amanah ini dengan semangat seutuhnya untuk melahirkan “GENERASI EMAS INDONESIA”

Jumat, 21 November 2008

Kisah sang ayah dalam 24 Jam

Dalam 24 jam ini, dua orang sahabat menceritakan kisah tentang suami dan diri mereka dimana saya mengalami pelajaran hidup kisah seorang ayah dari kedua sahabatku ini.

Dikisah pertama, seorang sahabat yang mendapat tugas dari kampus untuk presentasi keluar kota, mengisahkan kisah duka nya terhadap kekecewaan pada suaminya yang tidak perduli pada keselamatan anak perempuan semata wayangnya. Anaknya yang kelas 3 SMA harus melakukan belajar tambahan dengan mengikuti bimbingan test dan pulang pada pukul 8 malam. Lokasi bimbingan terletak jauh dari rumah, yang harus ditempuh dengan 2 x berganti angkot, namun melewati jalan riau dan bangka yang gelap serta melewati terminal bus yang banyak preman. Mengingat kondisi Bogor yang banyak mengalami penculikan anak serta kasus mutilasi dan perkosaan yang sanga merebak akhir2 ini sang sahabat hanya bisa sesak nafas dan menahan isak selama perjalanan pulang di jalan tol, karena pada sore hari nya ketika ia dalam kondisi diatas panggung sudah menitipkan anaknya untuk dijemput sang suami. Suami membalas sms dengan mengatakan bahwa dia ada meeting. Namun ketika pk 8 malam, sang putri sibuk mengontak sahabatku ini dalam nada kecemasan. Dan apa nyana, ketika sang suami di telpon, dia malah sedang asyik menghabiskan malam dengan teman2 ngerumpinya di sebuah hotel di Jakarta, yang notabene malam itu hadir tanpa didampingi suami2 mereka. Saya hanya bisa menyabarkan sahabatku ini, agar berdoa pada Allah agar sang putri diselamatkan oleh Allah dan menasehatinya untuk bersabar memiliki suami yang kurang mementingkan dan kurang perhatian pada keluarganya.

Belum genap 24 jam kejadian tadi malam yang terbawa mimpi itu, sore ini aku kembali mendapat telpon dari sahabat lainnya yang bekerja di BRR. Lama tak bersapa, pembicaraan tiba pada pembahasan tentang anak, mengingat aku juga punya seorang anak yang sedang duduk di kelas 3. Dengan bangga sahabatku ini bercerita anaknya masuk FKG UI. Dengan ringan saya menanyakan pada dia “peran apa yang telah kau lakukan sebagai seorang ayah, sehingga anakmu bisa berhasil masuk universitas yang sangat bergengsi itu?” Dan pertanyaan itu memancing cerita, yang kembali membuat aku termenung, betapa hebatnya sahabatku telah berhasil menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Ia bercerita, bahwa anaknnya telah mengalami kegagalan untuk mengikuti test UMB di Unpad dan di UI. Ia berangkat umroh untuk minta petunjuk Allah, seketika pulang dari Umroh, ia resign dari BRR yang telah memberinya gaji puluhan juta rupiah, dan ia mendampingi, mengantar dan menjemput anak gadisnya untuk pergi bimbingan test di Jakarta, (mengingat ia menyadari bahwa putrinya sangat membutuhkan dukungan moril dirinya juga), selain dukungan moril istrinya yang juga wanita bekerja. Saya tidak dapat membayangkan, ia yang berkantor di Dermaga, harus mengejar jam2 bubar bimbingan test anaknya di Jakarta, dan melakukan dialog intensif dengan putrinya untuk memberi motivasi agar anaknya berhasil. Dalam waktu se bulan, dia membuktikan pada dunia, bahwa ia adalah seorang ayah yang patut menjadi panutan dan teladan dan anaknya berhasil masuk UI melalui jalur UMPTN.

Terima kasih Tuhan, dalam 24 jam ini engkau memberikan pelajaran padaku tentang dua laki-laki yang berada pada titik ekstrim kanan dan kiri. Mudah2 an kisah pembelajaran ini dapat menjadi inspirasi bagi diriku untuk mendidik ke tiga anak laki-lakiku menjadi ayah di kisah terakhir, bukan dikisah pertama……………..amien

Selasa, 21 Oktober 2008

LASKAR PELANGI

Saat ini, film laskar pelangi sedang menjadi topic hangat dikalangan remaja maupun hampir seluruh lapisan umur masyarakat Indonesia. Bahkan ibu saya yang hampir berusia 75 tahun, yang di “sandera” kesembilan cucu nya agar “mau” ikut nonton untuk sejenak melepas lelah dan penat seusai lebaran, juga tak habis-habisnya mengagumi dan menyarankan agar saya dan suami menyediakan waktu untuk menonton film tersebut.

Kadang terasa sangat hiperbol penuturan si mami yang menyatakan, selama 75 tahun, belum pernah ia menonton film sebagus itu…. Kami hanya tersenyum simpul dan dengan santainya suamiku berkomentar : mungkin habis papi meninggal 28 tahun yang lalu, mami baru onton kali ya? Sehingga suasana bioskop yang sangat nyaman saat ini mendukung substansi film? Kami hanya terbahak2 sekeluarga melihat semangat mamiku tentang menonton ini….

Namun demikian, kami yakin apa yang diutarakan mami pada umumnya mengandung kebenaran yang tinggi. Akhirnya kita menyempatkan diri untuk menonton film ini. Dan ternyata benar film ini sarat dengan pesan moralitas yang sangat baik, yang dikemas dengan muatan local, yang ternyata sangat di dominasi oleh natural landscape yang sangat baik….saya jadi teringat masa2 sulit di SMP dan SMA, dimana nasehat2 yang diutarakan pa Cik seringkali saya dengar dari mulut ibundaku tecinta ini.

Saya semakin yakin, dengan istilah di Minang yang menyatakan bahwa “mulut ibu itu Batuah”, artinya apa yang terucap dari bibirnya merupakan doa dan banyak mengandung hikmah…

Subhanallah, hikmah lain yang saya dapatkan dari film ini adalah ketika mendapat berkah lain dari film ini yakni kesempatan saya untuk menikmati “the Beautifulness of Belitung Natural Landscape”. Saya sangat mengangumi pantai berbatu yang menjadi tempat bersejarah bagi lintang dan teman2, dimana mereka mendapat julukan Laskar Pelangi oleh sang guru yang sangat mulia dan tulus. Batu2 besar yang tertata secara alamiah dan bertabuiran di pasir pantai yang begitu indah, menggambarkan betapa indahnya natural landscape yang dapat dikembangkan potensi tersebut sebagai salah satu “Objek Daerah Tujuan wisata (ODTW)” berbasis Ekowisata.

Sehingga berbagai duka yang di sisakan oleh PN Timah, mudah2 an dapat terobati oleh upaya peningkatan income generating melalui aspek pengembangan ekowisata dengan pendekatan perencanaan lanskap yang baik tentunya. Mengingat potensi alamiah yang sangat baik tersebut, diharapkan Pemda Belitung dapat segera bangkit dan “Pantang menyerah’ sebagaimana kalimat yang tertera dalam postcard dari Paris pada akhir film ini……

Hidup ini memang perjuangan, maka tentunya tidak ada kamus putus asa, karena kita punya semangat ‘pantang menyerah”…..demikian nasehat dari mamiku yang juga terngiang2 dalam telingaku ketika aku menikmati lagu laskar pelangi pada saat bioskop mulai terang dan air mata di pipiku mulai mongering di malam nan gelap gulita itu…..

Senin, 22 September 2008

STREET SCAPE & PEDESTRIAN

PEDESTRIAN

Dalam suatu kuliah, saya sering mengisahkan ilustrasi mengenai pejalan kaki di sekitar jembatan merah. Mahasiswaku seringkali tergelak pada akhir cerita, yang seringkali masih terngiang gelak tawa mereka dalam lamunanku dalam bus IPB yang sering membawaku pulang ke Bogor dalam keletihanku.....karena kisah yang dianggap lucu tersebut sesungguhnya menunjukkan potret keprihatinan yan sangat mendalam terhadap kondisi streetscape dan pedestrian di negri kita tercinta.

Bayangkan, saya kembali teringat kalimat-kalimat kritis konstruktif yang sering dilontarkan anak-anakku ketika melihat ketidak nyamanan, atau ketidak harmonisan dalam penataan urban landscape, khususnya pedestrian di Jabotabek. Mereka sering bertanya “mahasiswa bunda yang lulus dari landscape pada ngapain aja sih bun? Koq kota-kota di Indonesia masih amburadul?”....

Pertanyaan itu wajar muncul, ketika misalnya suatu hari anakkuku, yang saya ajak beli kue di toko kue langganan kami di jembatan merah. Dari lokasi parkir mobil menuju toko kue, maka kita akan mengalami keadaan yang sering saya kisahkan dalam kuliah saya tersebut diatas, yakni: “Konsep pedestrian yang maju kena mundur kena”, mengapa demikian? Yah karena dalam perjalanan yang hanya beberapa meter tersebut, kita akan sangat merasakan ketidak nyamanan, karena jika kita terlalu kekiri, maka, kita akan kesenggol mamang-mamang jualan jeruk dan lengkeng. Jika kita berjalan agak kekanan, maka kita akan kesenggol becak, bahkan keserempet angkot.

Kisah nyata sering saya bumbui dengan ilustrasi, “lalu kalau kita jalan pelan-pelan, kita akan di maki2 orang, disuruh cepat2 oleh orang yang sedang memikul dagangannya, sementara kalau kita jalan kecepetan maka kita disangka ketakutan dan akan menjadi incaran copet yang senantiasa mengintai”

Walhasil, lengkap sudah penderitaan pejalan kaki di kota Bogor tercinta, sudahlah tidak nyaman dalam melakukan jalan kaki, maka pejalan kaki pun tidak memiliki “secure” atau rasa aman dalam melangkahkan kakinya tersebut.

Kondisi diatas sangat berbeda dengan beberapa pedestrian yang sempat saya amati. Kota-kota yang sehat, akan memiliki kawasan pedestrian yang sangat tertata dengan baik dan indah. Kesadaran akan pentingnya jalan kaki bagi kesehatan, sangat ditunjang dengan kanopi pohon yang sangat masif yang memisahkan jalan bagi kendaraan dan bagi pejalan kaki. Sehingga pohon-pohon tersebut terdapat dalam beberapa lapis dalam streetscapenya. Lapisan pertama yakni deretan pohon yang membatasi deretan rumah dengan pedestrian, dilanjutkan dengan lapisan kedua yang membatasi pedestrian dengan jalur mobil arah utara. Lapisan ketiga yakni median jalan, dilanjutkan dengan lapisan ke empat yang memisahkan jalur mobil arah selatan dengan pedestrian dan lapis terakhir, yang ke lima yakni deretan pohon yang memisahkan pedestrian dengan deretan perumahan.

Lima lapis pohon tersebut, tentunya tidak memberikan kesempatan bagi polusi yang dikeluarkan kendaraan untuk terbang bebas ria menuju jalur pernafasan penduduk kota itu, karena telah tereduksi dengan optimal oleh konsep streetsacape yang sangat baik. Dalam titianku menikmati pedestrian Oldenburg, seringkali pikiranku melayang, kapankah gerangan saya akan menikmati suasana yang begini nyaman di negriku tercinta?

KOEN

Koen, merupakan istilah yang biasa digunakan oleh anak-anak usia SD di Jepang untuk menyebutkan kata lain dari Pocket Garden, atau Taman lingkungan. Namun pengucapan “Koen” memberikan imajinasi tersendiri bagiku. Karena ketika aku melalui masa SD di SRIT, maka ketika kudengar ibuku mengajak ke Koen, maka kami akan sangat bahagia, karena berarti kami bisa bermain bebas di luar rumah, di taman dekat rumah, sambil mami membawa adikku yang masih bayi berjemur di hangatnya matahari pagi. Kami yang hanya boleh pergi keluar rumah dengan supir papi (krn mungkin papi dan mami sangat khawatir dengan keselamatan kami), kadang merasa sangat “lepas” dan “ bebas” jika sedang bereksplorasi di Koen.

“Koen” ini pula yang menjadi sebuah media yang sangat membantu aku dalam memberikan kebahagiaan yang sama bagi anak-anakku, yang lebih banyak menghabiskan waktu di Koen, dibandingkan waktunya bersama aku ketika kami memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Tokyo. Ketiga anakku, akan sangat sibuk bermain dengan teman nya masing-masing di 3 Koen yang berada disekitar tempat tinggal kami. Hari Minggu, ketika aku memiliki waktu luang (karena kadang hari minggu pun saya harus ke kampus, dan suami bekerja), maka, dengan sepeda saya harus berkeliling di 3 koen tersebut untuk melihat kebahagiaan anak saya dari jauh, sambil harap2 cemas akan keselamatan mereka.

Perbedaan mendasar kebahagiaan yang dirasakan aku dan anakku adalah pada kehadiran seorang ibu. Jika ketika kecil, aku harus ke koen selalu bersama mami, maka anakku menikmati koen dengan teman sebaya tanpa kehadiran seorang ibu, karena budaya di Jepang memberikan kebebasan bagi anak2 bermain di Koen. Koen dianggap sebagai tempat yang sangat aman bagi anak untuk bereksplorasi dan menikmati dunia “bermainnya”.

Dalam pengembangan sebuah kota pada negara maju, maka kehadiran pocket garden atau taman lingkungan (seperti koen tersebut diatas), yang dapat memberikan tempat bagi warga sekitar untuk bersosialisasi dan berinteraksi, merupakan suatu hal yang primer dalam memenuhi kebutuhan fasilitas bagi publik. Pada taman lingkungan tersebut biasanya juga disediakan sarana bagi bermainnya anak-anak, sehingga mereka bisa menikmati dunia mainnya dengan aman dan tenteram.

Konsep Koen seperti yang saya alami di Tokyo, saya amati terdapat pula pada beberapa kota yang berhasil saya potret pada beberapa kali kunjungan saya dalam beberapa course atau kujungan internasional seminar. Di Taipei, Bonn, Oldenburg, Amsterdam, Berlin, Bremen, Osnabruck dan Hamburg, saya dapat mengamati kebahagiaan anak-anak yang terpancar ketika sedang bermain dengan alat-alat yang dapat membangkitkan kreativitas, serta menanamkan keberanian anak-anak dalam beradventure ria.....

Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Bilakah saatnya tiba bagi kita, para pakar landscape untuk dapat memperjuangan keberadaan taman lingkungan yang kita yakini juga sangat plays an important role dalam kesehatan jiwa anak cucu kita kelak? Apakah kita akan biarkan mereka menjadi generasi plays station dan X-Box?

SATO-san

SATO-san...

Hukum Karma, apakah ada dalam hidup ini? Sebagai seorang penganut agama Islam, maka jelas dalam fiqih tidak terdapat aturan yang menjelaskan tentang sebuah hukum karma sebagaimana yang dianut oleh saudara kita dari ummat Hindu.

Namun mamiku tercinta, yang senantiasa memberikan kehangatan dan doanya dalam setiap desah nafas dan detak jantungku, serta senantiasa memberiku semangat di kala langkahku menjuntai lunglai dengan beratnya persoalan hidup ini, selalu mengingatkan kami anak-anaknya agar banyak berbuat baik ke sesama serta banyak memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan dengan semat-mata untuk mencari ridho Allah semata. “Karena kebaikan kita saat ini, kelak akan berimbas kepada anak-anak kita secara tidak langsung” demikian nasehat bijak yang senantias mengalir dari bibirnya yang senantiasa tidak pernah lepas dari dzikrullah....

Pikiranku melayang pada kejadian di penghujung tahun 99, ketika anak-anakku tiba dari Bogor, seketika diriku gamang, sanggupkah aku yang sedang menempuh studi di negri orang, mengasuh ketiga anakku yang berusia SD kebawah? Saat itu suamiku belum menyusul ikut tinggal bersama kami, dan mamiku hanya mengantar dan dapat tinggal satu bulan karena keterbatasan visa.

Kegamangan diriku kuserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, yang aku tahu tidak akan menyia-nyiakan hambaNya yang menyerahkan seluruh langkah hidupnya di dalam genggaman Nya.... Dan beberapa hari kemudian, tetanggaku,seorang gadis Jepang yang telah berumur, keluar dari kamar yang senantiasa tertutup rapat, pada suatu pagi dimana si bungsu Abyan sedang berjalan menuruni tangga untuk berangkat menuju penitipan anak. Perkenalan tak terduga pun berlangsung sebagaimana pada umumnya ketika saya berkenalan dengan orang baru.

Namun, unforgetable, malam hari ketika saya pulang dari kampus dalam keadaan yang sangat letih dan rasanya tidak memiliki energi tersisa untuk membuat penganan makan malam anak2ku, aku dikejutkan dengan ungkapan gembira ketiga anak2ku yang menceritakan perut mereka yang sudah kenyang. Mereka dengan gembiranya menyebut nama –Sato- san, orang sebelah yang kenalan tadi pagi bun,,,celoteh si bungsu. Jadi bunda tidak usah masak lagi....dan akupun terlelap dalam pelukan anak2ku tercinta.

Singkat cerita, hingga aku menamatkan sekolahku 2 tahun kemudian, aku tak akan pernah dapat melupakan jasa Sato-san, yang telah menjadi ibu kedua bagi anak2 ku selama kami tinggal di Tokyo. Aku bisa dapat menyelesaikan studi tepat waktu, karena aku tidak lagi memiliki kekhawatiran tentang anak2 ku karena udon panas atau nasi cyanghai akan siap pada makan malam untuk para jantung hatiku, ketika beliau melihat aku belum tiba karena sedang bekerja keras di lab kampus.

Pada malam terakhir kami di Tokyo, aku tak dapat menahan isak untuk berpisah dengan Sato-san, yang saat ini sudah almarhumah. Tanpa sadar saya bertanya pada diri sendiri, “kenapa ya ada orang sebaik Sato san yang hadir dalam kehidupan kita?” suamiku yang berbaring disisiku, berbisik dengan lembut....”karena mami orang yang baik dan suka menolong orang, sekarang bunda menerima balasan kebaikan mami tersebut melalui Sato san”. Aku tertegun dengan ucapan suamiku yang sangat“dalam” yang menggambarkan realitas hidup, betapa pemurahnya ibundaku tercinta....dan aku menikmati kebaikan mami tersebut dengan banyak menerima pertolongan dari orang ketika aku sangat membutuhkannya dalam perjuangan hidup menempuh sekolah di negeri Sakura....

Sebaliknya, ketika ada kerabat yang harus mengalami hidup yang sangat berat dan mengalami perputaran hidup sebanyak 180 derajat, lagi2 aku bertanya kepada mamiku “kenapa ya mam, dia mengalami cobaan hidup yang sangat berat?” ibuku hanya menjawab lirih, “itu lah nak, kalau kalian mau anakmu selamat, banyak2 lah meringankan penderitaan orang lain, banyak2 lah memberi pertolongan dan kebahagiaan kepada orang yang membutuhkan, serta ringankan lah langkahmu untuk berbuat amal dan bersedekah” Kerabatmu itu menuai kekikiran sang bundanya, yang terkenal sangat enggan untuk meringankan penderitaan orang lain dan tertutup pintu rumah dan mata hatinya untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Lagi-lagi saya merenung, ternyata benar ungkapan hadist yang menyatakan, ada kalanya Allah akan menyegerakan balasan di dunia kepada hambaNya, baik dengan amalnya maupun dengan kekikiran hatinya dalam meringankan penderitaan orang lain. Seketika aku dan kakak2ku berlomba-lomba berbuat kebaikan, karena kami menyadari bahwa Allah menyayangi hamba Nya yang pemurah dan penolong.

Sehingga walau tidak ada konsep Karma dalam Islam, namun ilustrasi diatas semoga dapat membuka mata hati kita, bahwa kita sebagai orang tua harus senantiasa berbuat kebaikan karena Allah semata, agar insya allah kelak anak kita akan bisa menerima balasan kebaikan kita dari sato san....sato san ..... lain yang akan datang tanpa diduga sebagaimana peristiwa kami di Tokyo.....

SANTI

2 minggu sudah kulalui hari-hariku di negeri yang harus kutempuh selama lebih dari 20 jam, untuk menuntut ilmu bagaimana mengelola sebuah perguruan tinggi, dimana memiliki manajemen yang cukup khas dan berbeda dibandingkan dengan pengelolaan sebuah perusahaan swasta atau industri. Syukurku tak habis kulafadhkan ke Hadiratmu Illahi Rabbi, yang telah memberiku kesempatan ini. Karena pembelajaran yang aku dapatkan tidak hanya dari bangku2 kuliah dalam “University Leaders Course” di Univ Oldenburg ini, melainkan juga dari tadabur alam yang kudapatkan untuk lebih memperdalam pemahamanku mengenai arti sesungguhnya sebuah kawasan “Urban Landscape”, sebuah cabang ilmu landscape yang senantiasa kucoba untuk aku dalami dan pahami.

Pembelajaran tentang peran seorang istri dan ibu yang baik pun, aku dapatkan dalam perjalanan hidupku yang sesungguhnya sedang aku jalani sendiri selama sebulan ini, yang harus memisahkan aku dari dekapan suami dan anak-anakku tersayang. Kesempatan mengunjungi seorang sahabat lama di Amsterdam, memberikan perenungan panjang tanpa habis bagiku. Seorang sahabat yang sedang berada dalam puncak kejayaan karier suaminya sebagai direktur utama sebuah anak perusahaan BI, rela melalui hari-harinya untuk menikmati peran sbg istri dan ibu. Sebagai seorang sarjana yang saya kenal cukup smart, ia rela melalui hari-hari melakukan pekerjaan yang biasanya banyak aku limpahkan pada mbak Mar, seseorang yang sangat berjasa padaku dan keluargaku dalam lima tahun terakhir ini. Tanpa kehadiran mami yang senantiasa memberikan kasih sayang yang tak putus bagi anak2ku dan kehadiran seorang mbak Mar dalam hidupku, tak mungkin aku tega meninggalkan anak-anakku hanya dengan suamiku dan melalui hari-hariku di Oldenburg ini....

Dengan posisinya yang serba berkecukupan dan berkelebihan, ia mungkin dapat membawa berpuluh-puluh mbak Mar ke Amsterdam untuk membantu mengelola rumahnya yang berlantai 3 ini, bahkan berlantai 4 jika kita menghitung dari ruang cuci baju di bawah tanah. Ukuran rumah yang cukup langka bagi penduduk Amsterdam, karena biasanya penduduk terbiasa hidup dalam Apartemen, ternyata tidak menyurutkan niatnya untuk mengikuti jejak ibu-ibu Belanda yang menikmati peran memberikan kasih sayang pada suami dan anak-anak melalui belaian tangan lembutnya dalam mengelola rumah dan melayani suami & anak2nya.

Kisah kebahagiaan ibu-ibu Londo yang mempunyai budaya memberikan penganan istimewa pada setiap hari Minggu pada suami dan anak, (krn pd hari minggu seluruh toko, apartemen dan restaurant di Eropa tutup agar setiap keluarga punya waktu luang utk menikmati kebersamaannya), menjadi inspirasi terselubung bagi sahabatku ini. Kisah ini yang menjadi sumber semangat baginya untuk belajar membuat masakan dengan tangannya sendiri bagi suami dan anaknya selama di Amsterdam. Sbg seorang anak mantan pejabat di Indonesia, sangatlah wajar jika ia banyak melalui kehidupan yang serba berkecukupan dengan pembantu berderet. Dan sebagai anak metropolitan, pun suatu hal yang lumrah bagi kami, baru belajar membedakan bawang merah dan bawang putih setelah akad nikah.....

Apa rahasia dibalik semua ini?Adalah keikhlasan menjalankan peran dengan meyakini sepenuh hati bahwa setiap langkahnya dan gerakannya adalah ibadah, yang akan menjadi sumber energi yang sangat luar biasa bagi keberhasilan suami dan kedua putranya. Sahabatku telah membuktikan, bahwa keberhasilan suaminya mencapai puncak karier, tak terlepas dari kehadiran sahabatku ini dibelakang layar. Aku sangat yakin, keberhasilan suaminya tidak terlepas dari perannya sebagai “sparing partner” yang sangat handal bagi suami nya,sehingga selain pengabdiannya dalam urusan rumah tangga, ia pun bisa menjadi teman diskusi pada saat suami nya sdg menghadapi masalah berat dikantor, (karena mereka sama2 memiliki latar belakang sbg bankers).

Lagi2 aku merenungi langit kamarku, apa yang telah aku lakukan dan abdikan untuk suami dan anak-anakku?

Syukurku tak habis aku panjatkan kehadirat illahi yang telah memberi aku seorang suami dan anak-anak yang begitu ikhlas memberikan izin dan dorongan bagiku dalam menempuh jenjang demi jenjang berbagai pendidikan yang telah aku tempuh.... Namun, aku senantiasa menyadari dengan sepenuh hati, surgaku sesungguhnya tidak terletak pada berbagai gelar yang telah kuraih dan berbagai jabatan yang sedang aku emban saat ini, melainkan pada ridho suami dan kebahagiaan anak-anakku.

Aku merenung betapa sangat kurangnya energi yang aku miliki telah aku curahkan bagi keberhasilan suami dan anak-anakku sebagaimana yang telah dilakukan sahabatku ini. Keberhasilan suamiku dan prestasi anak-anakku sangat aku yakini semata-mata karena kasih sayang Allah semata dalam memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku hanya mengandalkan kekuatan komunikasi dan doa sebagai sarana menyalurkan energi penuh kasihku bagi suami dan anak-anakku, yang aku yakini sangat kurang dan jauh dari mencukupi sebagaimana yang telah dilakukan sahabatku ini. Aku hanya bisa mempersembahkan setiap lantunan tadarusku dan dzikirku bagi suami dan anak-anakku tersayang, selain kupersembahkan kepada almarhum papi tercinta, almarhum mamak dan bapak tekasih (kedua mertuaku) dan mami tercinta.

Aku senantiasa memohon ampun kepada illahi robbi, agar aku melakukan semua amanah ini bukan dilandasi oleh ambisi dunia yang hanya menjerumuskan aku ke neraka yang abadi kelak, tetapi karena menyadari bahwa aku diberi “amanah lebih” dari Allah swt. Aku senantiasa memohon kepada Allah agar aku senantiasa mendapat hidayah untuk senantiasa menyadari bahwa amanah yang utama dari sekian banyak amanah yang aku emban saat ini, adalah dalam memberikan pengabdian yang tulus dalam memberikan kasih sayangku yang seutuhnya bagi suami dan anak-anakku.

Terima kasih Santi, kebersamaan kita selama 2 hari, telah memberikan pembelajaran yang sangat berarti bagiku...agar aku senantiasa menyadari tugas utamaku....tapi percayalah setiap hasil keringat yang aku terima, juga aku niatkan untuk meringankan beban suamiku dalam menyiapkan bekal studi anak-anakku yang sudah di depan mata, karena satu demi satu anak-anakku akan memasuki bangku kuliah yang sangat mahal biayanya di negri kita tercinta ini.....

Sepulangku kelak, semoga aku lebih bisa menyalurkan energiku kepada suami dan anak2 ku sebagaimana yang telah kamu persembahkan untuk chairy dan kedua jagoanmu......

Terima kasih ya Allah untuk tadabur alam menjadi istri dan ibu yang sejati.....